Minggu, 26 April 2009

Hutan Rakyat Lestari Membantu Kurangi Dampak Perubahan Iklim

JAKARTA – Hutan merupakan komponen yang utama dalam penyerapan emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global, karena hutan mampu menyerap kelebihan karbon di udara. Indonesia dengan luasan hutan alam 90 juta hektar dan hutan rakyat 1,2 juta hektar (Departemen Kehutanan, 2008) memiliki potensi yang besar yang belum termanfaatkan sepenuhnya untuk menyelamatkan lingkungan dari perubahan iklim. Menurut studi FAO tahun 2006 penanaman pohon dapat menyerap karbon dalam jumlah yang besar dari udara dalam waktu yang relatif pendek. Hutan dapat menyimpan sekitar 15 ton karbon/ha/tahun dalam bentuk biomassa dan kayu.

Hutan rakyat dilirik sebagai areal yang potensial dalam menyumbangkan jasa penyelamatan lingkungan melalui penyerapan karbon (carbon sequestration).“Hutan rakyat sudah memiliki areal yang jelas, pemiliknya jelas, jenis yang ditanam juga jenis yang biasa mereka tanam sehari-hari seperti jati dan sengon, batasan areal dan keamanan terjamin karena adanya penduduk desa dan aparat desa yang menjamin. Semua ini meningkatkan potensi kelestarian hutan, sekaligus mengatasi potensi konflik agar tidak timbul sebagai konfilik. Hutan alam memang memiliki areal yang luas dan beraneka ragam jenis pohon yang bernilai tinggi, namun keamanan arealnya kurang dapat dijamin, masih banyak hutan alam produksi yang belum jelas atau belum tuntas status penataan batasnya yang berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari. Lalu siapa yang menjamin kelestariannya ?” ujar Dibyo Poedjowadi, Ketua KPWN, lembaga koperasi kehutanan yang mengembangkan metode investasi bagi hasil lewat penananaman jati unggul di hutan rakyat.

“Kami lebih mengutamakan untuk menggunakan tanah-tanah rakyat yang marjinal dan pinggiran untuk ditanami pohon. Dengan pola bagi hasil yang kami kembangkan, baik hasil kayu maupun hasil penyerapan karbon, pedesaan akan memperoleh sekitar 60% dari hasil investasi. Baik untuk perangkat desa, pemilik lahan, maupun petani penggarapnya. Selain itu penanaman jati dan sengon di tanah marjinal dapat membantu meningkatkan nilai tanah marjinal tersebut. Untuk tahun produksi 2004-2005 saja, tanah yang ditanami sengon telah bernilai sewa 10-30 jt/ha/thn. Dibandingkan dengan tanah yang ditanami tebu, nilai sewa tanahnya hanya mencapai 2-3 juta/ha/thn,” imbuh Dibyo.

Selain itu, Dibyo menambahan, “Dengan penambahan teknologi, kita dapat menghitung bahwa dengan menanam sekian pohon berarti telah membantu menyerap karbon sekian ton/ha. Penyerapan karbon dapat dihitung lewat metode perhitungan tertentu. Dengan metode perhitungan tersebut kita dapat mengetahui Bapak MS Kaban yang melakukan penananaman sebanyak 2653 pohon di Jawa Barat dan Jawa Timur ternyata equivalen sebagai kompensasi karbon dari kegiatan yang beliau lakukan sehari-hari.”

Daru Asycarya, Plt Direktur Eksekutif LEI, mengatakan, “ Ini membuka peluang dan kesempatan bagi individu maupun perusahaan yang merasa bertanggung jawab memberikan kompensasi atas karbon yang telah dikeluarkan lewat beraneka kegiatan, mulai dari menggunakan kendaraan bermotor sampai proses industri yang mengeluarkan polutan yang berdampak efek gas rumah kaca. Jangan sampai kita hanya mengeluarkan polusi tanpa ada tanggung jawab untuk menguranginya. Industri besar bahkan punya tanggung jawab sosial dan lingkungan yang lebih besar untuk memberi kompensasi pada masyarakat yang telah menyediakan hutan rakyat lestari sebagai penyerap gas karbon. ”
Program kerjasama LEI-KPWN ini sejalan dengan kebijakan Departemen Kehutanan yang baru-baru ini menggalakkan kampanye One Man One Tree, yang mengajak dan merangsang setiap orang untuk melakukan penanaman pohon.
“Dalam kesempatan ini kami ingin memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak MS. Kaban yang telah melakukan kampanye gerakan penanaman, sekaligus telah membuktikan bahwa gerakan penanaman dapat bermanfaat luas bagi masyarakat, yang dibuktikan dengan penyerapan karbon yang dapat dihitung, selain juga penyediaan jasa lingkungan seperti biodiversity dan konservasi tanah dan air “ demikian Daru Asycarya menyampaikan.
Menurut peneliti dari Badan Litbang Departemen Kehutanan, Kirsfianti Ginoga, untuk mengukur besarnya penyerapan karbon dari hutan dapat menggunakan persamaan allometrik. Metode ini cukup sederhana dengan menggunakan teknik pengukuran hutan seperti mengukur diameter pohon, tinggi, berat jenis kayu, sampling tanah, dan survery lingkungan. ”Metode ini dapat dipilih karena sederhana, mudah, murah, dan banyak diaplikasikan”, ujarnya.

Peluang bagi Hutan Rakyat dan Hutan Berbasis Masyarakat lainnya
Teddy Rusolono, pakar kehutanan dari Institut Pertanian Bogor mengatakan,” Hutan berbasis masyarakat dan tipe pengelolaan hutan skala kecil lainnya dapat memasuki pasar karbon sukarela, tidak perlu mengikuti pasar karbon antar negara dimana kebijakan dari pemerintah pun belum siap.” Masuknya hutan berbasis masyarakat ke dalam perdagangan karbon perlu didukung karena menurutnya ini merupakan kesempatan untuk memperoleh nilai tambah dari hutan rakyat selain hasil hutan kayu dan non-kayu. Menurut Teddy, dari sisi pasar, perdagangan karbon untuk pasar yang bersifat wajib atau antar negara mengikuti mekanisme REDD dan CDM nampaknya belum siap diimplementasikan di Indonesia, karena permintaan untuk kehutanan masih kecil sekali sekitar 1% dari total emisi pihak investor, dan itupun hanya untuk kegiatan penghutanan kembali (reforestasi dan afrestasi). Padahal menurut penelitian CIFOR (2006) harga karbon di pasaran internasional telah mencapai 5-15 euro per ton CO2. Harapan yang terbuka bagi perdagangan karbon di Indonesia justru lewat perdagangan karbon sukarela.
”Dan perdagangan karbon sukarela memang peluang untuk hutan berbasis masyarakat mendapatkan nilai tambah, ”ujar Daru Asycarya. Peluang itu akan semakin terbuka bila ada standar sertifikasi karbon yang adil dan lestari yang mampu mendukung nilai tambah pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari dan hutan adat di Indonesia, demikian disampaikan Daru Asycarya.